Knowledge and Experience. They just know how to keep me feel alive.....


Wednesday, June 13, 2012

Para.. para..

I am acrophobic. And I don't like being acrophobic, but that is what I am.

Acrophobic berarti orang yang takut ketinggian, dan saya salah satunya. Saya ga bisa ingat sejak kapan saya takut ketinggian. Yang saya ingat, saya selalu deg-degan dan sedikit gemetar tiap kali harus menyeberang dengan jembatan penyeberangan (terutama jembatan penyeberangan di gerbatama UI, yang juga menyeberangi rel kereta. Tinggi banget!!). Saya selalu ingin nutup mata tiap kali naik lift yang kacanya transparan. Saya ga berani liat ke bawah tiap kali naik eskalator atau jalan-jalan di mall, karena kalau saya lakukan perut saya rasanya langsung mual. Pernah satu kali saya pergi ke Anyer dan saya naik ke puncak sebuah mercusuar bersama beberapa teman, saya hanya berani duduk merapat ke tembok sambil berpegang erat-erat ke pagar penyangga dengan wajah pucat sementara teman-teman saya asyik bergaya dan berfoto. Saya juga pernah dipaksa naik wahana Kora-Kora di Dufan oleh beberapa teman, dan saya hanya bisa menutup mata, merasakan jantung saya hampir copot sampai akhirnya tangisan saya pecah di atas wahana itu.Yah, itulah saya.

Sering kali saya dapat ucapan dari teman-teman saya seperti, "Ga asik lo! Gitu aja takut.Cupu!" atau "Gaya tengil macam jagoan tapi ga berani nyoba yang tinggi-tinggi". Puas deh sepanjang hidup saya denger omongan kayak gitu. Saya cuma bisa cengar-cengir kecut tiap kali denger semua ucapan teman-teman saya tadi. Ga masalah mereka mau bilang apa, selain sama hiu, saya emang takut juga sama yang namanya ketinggian, jadi mau gimana lagi.

Tapi biarpun takut tinggi, saya ga takut naik pesawat. Karena mungkin saya merasa aman berada di dalamnya. Saya jadi ingat pengalaman pertama saya naik pesawat, antara excited dan takut setengah mati. Saya tidak akan pernah lupa penerbangan pertama saya ke Bali dengan 3 orang teman. Waktu itu saya dapat tempat duduk terpisah dari 3 teman saya tersebut, tapi karena teman saya tahu persis kalau itu adalah pertama kalinya saya naik pesawat dan saya sebenarnya penakut, jadilah saya bertukar posisi dengan salah seorang teman. God bless her :-p. Saat take off dan landing adalah saat-saat yang paling saya ga suka. Lagi-lagi saya menutup mata plus menggenggam erat-erat bangku pesawat (dan tangan teman saya) ketika itu. Walaupun diketawain sama teman saya, saya udah ga mau ambil pusing dan tetep melanjutkan ritual tersebut. Sampai sekarang pun, tiap kali take off dan landing dengan pesawat, saya lebih suka menutup mata saya, mengatur napas sedemikian rupa dan berpegang pada sesuatu sambil komat-kamit dalam hati: All is well... All is well... 

Saya ga tau apakah acrophobia saya ini termasuk dalam ukuran parah, lumayan atau biasa-biasa saja. Tapi saya sudah membulatkan tekad untuk pelan-pelan mengatasinya. Beberapa waktu lalu tercetuslah sebuah ide dari teman saya untuk mencoba tandem paragliding (paralayang) di Puncak. Di satu sisi saya tertarik banget untuk nyoba, saya selalu senang dan penasaran dengan hal-hal baru. Tapi di sisi lain, saya ga berani membayangkan betapa tingginya nanti saya akan melayang, di alam terbuka, tanpa pelindung apa-apa. Bayangan seperti parasut yang ga akan terbuka atau tiba-tiba saya jatuh dari ketinggian melintas di kepala saya. I'm terrified, but I have to face it. I want to experience it so bad. Maka, saya pun mengiyakan ajakan itu.


Dan jadilah saya, tepat tanggal 19 Mei 2012 lalu, terbang pertama kali dengan paralayang dan berhasil melawan ketakutan-ketakutan saya. Saya mungkin lebay, tapi saya bangga bukan main. Hehehehehe. Bukan hal gampang bagi saya untuk yakin terus berlari sampai parasut membawa saya terbang melayang di ketinggian berpuluh-puluh meter dari atas tanah tempat saya berpijak sebelumnya. Saya harus melihat 2 teman saya lebih dulu melaluinya dan mendengar komentar mereka sebelum saya memutuskan untuk ikut mencoba. Tangan saya harus terus mengeluarkan keringat dingin tiap kali saya berdoa dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja dan saya tidak akan jatuh. Kaki saya harus gemetar terus-terusan sebelum angin akhirnya datang dan saya diminta berlari sekuat tenaga sampai saya melayang. Bahkan pada saat berlari saya harus menggigit bibir saya karena ketegangan yang saya rasakan.

Pada akhirnya, ketika saya sudah terbang tinggi, saya merasa perut saya bergejolak. Bukan karena mual, tapi lebih karena senang. Senang merasakan angin sejuk yang menerpa wajah saya. Senang karena saya bisa merasa aman melihat pemandangan di bawah saya. Senang karena ternyata bayangan-bayangan seram dalam kepala saya sebelumnya ga terjadi. Rasanya campur aduk, walaupun masih tersisip sedikit rasa takut jauh di dalam pikiran dan hati saya. The feeling was amazing. Such a great sensation I can say! Sensasi yang serupa tapi tak sama yang saya rasakan tiap kali saya menyelam. Aaaahh saya suka sensasi itu. Sensasi itu membantu saya bernapas lega ketika tiba waktunya untuk saya perlahan terbang merendah dan mendarat kembali di tanah. I nailed it!

Pengalaman saya kali ini pastinya ga akan pernah saya lupain. Benar-benar pengalaman pertama saya 'terbang'. Tanpa pesawat. Dari pengalaman ini saya belajar kalau ketakutan itu bisa diatasi pelan-pelan. Walaupun ga sepenuhnya hilang, tapi bisa dikurangi dan saya jadi lebih percaya dengan diri sendiri. Untuk Bee, -i-, Dea dan Chirra, makasih untuk perjalanan dan pengalaman yang menyenangkan kemarin.




Ciao!

-Gie-



No comments:

Post a Comment